Tradisi Membersihkan Jenazah Leluhur Ma’Nane Hingga Pemakaman Termahal

- Tradisi Ma’Nene di Tanah Toraja.Antara/ berbagai sumber/ kalselpos.com

kalselpos.comMerasa sumpek dengan rutinitas kerja, tak salahnya melakukan travelling ke obyek wisata. Cukup banyak pilihan destinasi yang bisa dikunjungi, apakah ke luar negeri, di Indonesia atau di Banua sendiri yaitu Kalimantan Selatan, tergantung isi kantong masing-masing.

– Tradisi Ma’Nene di Tanah Toraja.Antara/ berbagai sumber/ kalselpos.com

Nah, pembaca kalselpos.com, bila ingin mengunjungi obyek wisata yang masih mempertahankan tradisi leluhur dari bahari kala hingga sekarang, salah satunya di Tana Toraja, salah satu Kabupaten Sulawesi Selatan.

Bacaan Lainnya

Tana Toraja dinilai memiliki kebudayaan kuno yang masih lestari, sebut saja rumah adat yang biasa disebut tongkonan, upacara pemakaman tradisional alias Rambu Solo, juga makam gantung yang ada di Londa serta tradisi Ma’Nene dan tradisi mayat berjalan.

Kekayaan budaya ini didukung pula dengan alam yang memukau. Diberkahi dengan tanah subur berbukit-bukit, hamparan hijau bisa kamu lihat sejauh mata memandang

Sebelum membicarakan tentang tradisi apa saja yang ada disana, kita terlebih dulu membahas luas wilayah serta berapa lama melakukan perjalanan kesana.

Tana Toraja memiliki luas wilayah 2.054,30 km² dan pada pertengahan tahun 2022 memiliki penduduk sebanyak 270.984 jiwa dengan kepadatan 132 jiwa/km².

Apabila ingin ke Tana Toraja ada dua alternatif yang ditempuh, melalui jalan darat dari Makassar dengan waktu sekitar 9 jam.

Alternatif lainnya dengan naik pesawat terbang dari Makassar ke Bandara Toraja di Makale, Kabupaten Tana Toraja dengan waktu tempuh 1 jam saja. Bandara Toraja atau yang dikenal dengan nama Buntu Kunik ini baru diresmikan Presiden RI, Joko Widodo bulan Maret 2021 lalu.

Kembali ke obyek wisata, sebenarnya ada beberapa destinasi eksotis di daerah ini.

Di antara tradisi yang unik di Tana Toraja yakni Rambu Solo, upacara pemakaman termahal di dunia

Upacara pemakaman ini, masyarakat setempat rela menguras kantong demi melepas kepergian anggota keluarga dengan upacara perpisahan terbaik.

Terdapat tiga tingkatan penyelenggaraan Rambu Solo yang diatur berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga, mulai dari To di Silli’ yang hanya membekali jenazah dengan telur ayam, sampai yang paling mahal yaitu To di Rapai’ yang berlangsung lebih dari tujuh malam dan mengorbankan puluhan hingga ratusan ekor kerbau serta babi.

Selama acara berlangsung, keluarga akan mengenakan pakaian serba hitam dan menyambut tamu dengan buah sirih, tembakau, juga permen. Juga ada berbagai tarian khas Tana Toraja dan adu kerbau juga babi sampai ke penyembelihannya. Puncak dari acara ini adalah jenazah yang diarak keliling kampung sebelum akhirnya dimakamkan di atas tebing.

Selanjutnya ada uji nyali dengan mengunjungi Londa, makam di atas tebing

Tak hanya upacara yang megah dan berbiaya mahal, tempat pemakaman di Tana Toraja ini juga terbilang unik karena berada di dalam gua pada dinding tebing. Gua pemakaman ini disebut dengan Londa dan dijadikan salah satu tempat wisata andalan.

Londa terletak di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, atau sekitar 7 km dari pusat kota Rantepao. Memasuki kawasan Londa, bisa merasakan suasana mistis yang berbeda. Dinding tebing dilubangi serupa jendela dan menjadi tempat meletakkan tau-tau, patung kayu yang dibuat semirip mungkin dengan jenazah yang dimakamkan di Londa.

Memasuki gua ini akan merasaka suasana mistis yang terasa lebih nyata. Di dalamnya, terdapat ratusan peti mati dengan berbagai kondisi, mulai dari yang masih utuh sampai yang sudah hancur dengan tulang belulang berserakan. Peti yang hancur ini merupakan peti yang sebelumnya digantung dan terjatuh karena termakan usia.

Status sosial jenazah dalam masyarakat semasa hidup mempengaruhi ketinggian makamnya. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin tinggi peti matinya digantungkan dan semakin banyak pula benda berharga yang ‘dibawa’. Posisi peti yang lebih tinggi ini bisa sekaligus melindungi barang-barang ‘bawaan’ jenazah dari gangguan orang jahil.

Paling unik dan menarik adalah tradisi Ma’Nene dan tradisi mayat berjalan di Tana Toraja. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Baruppu di Tana Toraja. Ma’Nene juga biasa disebut sebagai tradisi membersihkan jenazah leluhur yang telah meninggal puluhan hingga ratusan tahun yang lalu.

Selain membersihkan jasad, tradisi ini juga mengharuskan pengikutnya untuk mengganti baju jenazah. Sedangkan, tradisi mayat berjalan merupakan bagian dari acara Ma’Nene.

Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Baruppu setiap tiga tahun sekali dan dilakukan secara serentak dengan warga desa lain. Hal ini dilakukan karena prosesi Ma’Nene yang cukup lama, yaitu bisa mencapai satu Minggu.

Sedangkan untuk waktu pelaksanaannya biasanya dilakukan pada bulan Agustus, yaitu setelah musim panen. Ma’Nene tidak boleh dilakukan sebelum masa panen karena dianggap bisa membawa sial bagi hasil panen, seperti sawah dan ladang mengalami kerusakan.

Ma’Nene berawal dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek. Dahulu kala, Pong menemukan sebuah jenazah dengan kondisi memprihatinkan. Kemudian, ia membawa jenazah tersebut ke rumah untuk dipakaikan baju yang layak dan dikubur di tempat yang aman.

Sejak itu, Pong mendapatkan banyak berkah. Mulai dari pertanian yang panen lebih cepat dan hasil buruan yang bagus. Pong beranggapan jika menghormati dan merawat orang lain itu diperlukan, sekalipun orang tersebut telah tiada, yaitu dengan merawat jenazahnya.

Ma’Nane di awali dengan berkunjungnya para keluarga yang masih hidup ke Patane, yaitu kuburan yang berbentuk rumah. Patane bisa ditemukan di Lembang Paton, Sariale, Toraja Utara.

Sebelum membuka peti, tetua atau Ne’Tomina Lumba akan membacakan doa. Tak lupa, anggota keluarga juga harus mengorbankan minimal satu hewan, seperti babi atau kerbau.

Setelah doa dibacakan, jenazah bisa diambil dari dalam peti dan dibersihkan dari bagian atas hingga bawah. Jika sudah bersih, keluarga bisa memakaikan baju baru dan kemudian membaringkan jenazah ke dalam peti lagi.

Saat prosesi tersebut, pihak keluarga laki-laki akan membentuk sebuah lingkaran dan akan menyanyikan lagu serta menari. Lagu dan tarian ini berguna untuk menyemangati para keluarga yang ditinggalkan.

Nah, tertarik ingin melihat tradisi di Tanah Toraja, khususnya acara Ma’Nane, datang aja di bulan Agustus.

Sport.kalselpos.com

Berita lainnya Instal Aplikasi Kalselpos.com

Pos terkait