Walhi :Kalsel Darurat Bencana Ekologis

Kisworo Dwi Cahyono/ Aktifis Walhi Kalsel (Fauzie)/ kalselpos.com

Banjarbaru, kalselpos.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Kalimantan Selatan mengingatkan bahwa saat ini Kalimantan Selatan dalam posisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis.

Darurat ruang merupakan konflik ruang atau konflik agraria. “Tanah rakyat dan tanah corporation yang sering berkonflik, baik soal izin dan lain-lain yang pada ujungnya kebanyakannya rakyat selalu kalah, ” ucap salah seorang aktifis Walhi Kalsel,Kisworo Dwi Cahyono saat dibincangi kalselpos.com
di sekretariat Walhi Kalsel Kamis (13/10) kemarin.

Bacaan Lainnya

Sementara,bencana ekologis adalah
suatu peristiwa alam atau bencana karena keikutsertaan manusia secara sistemik, destruktif dan masif menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian ekonomi, konflik agraria, pelanggaran HAM dan korban jiwa.

“Cek aja hampir setiap tahun, setiap musim hujan kita pasti kebanjiran, dan musim kemarau kita selalu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dari sini saja kita sudah tahu akar masalahnya, kapan akhirnya kita bisa membangun daerah kita ,”ujarnya.

Total wilayah Kalimantan Selatan kurang lebih 3,7 juta hektare berada di 13 Kabupaten Kota yang hampir di setiap kabupaten kota ada aktivitas tambang maupun perkebunan kelapa sawit.

” Ibarat sebuah rumah, hampir separuh Kalimantan Selatan ini sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit belum lagi HTI dan HPH, ibarat rumah mungkin kita di Kalsel ini cuma tersisa dapurnya saja, ” ungkap Kisworo.

Menurutnya hingga sekarang ini, di Kalsel masih belum jelas mana kawasan untuk lahan pertanian berkelanjutan atau lahan untuk anak cucu kita ke depan berkehidupan dan lahan untuk pangan.

Dirinya menyebutkan,pertambangan, perkebunan kelapa sawit maupun HTI dan HPH ini adalah industri-industri investasi yang rakus akan lahan.

“Satu izin perusahaan itu saja rata-rata ribuan hektar apalagi perkebunan sawit itu rata-rata puluhan ribu hektar,
akhirnya ini merubah tutupan hutan dan lahan, degradasi lingkungan yang pada akhirnya merubah tatanan iklim,” terang pria berambut panjang ini.

Seperti contoh akibat dari perubahan iklim atau
krisis iklim, menyebabkan musim buah menjadi tak menentu seperti sekarang ini termasuk dampak lingkungan yang lain hingga kesehatan serta bencana banjir dan lain sebagainya.

“Begitu juga yang baru-baru ini terjadi, banyak warga yang menjadi korban longsor seperti pertambangan emas di Kotabaru, Banjarbaru dan Kabupaten Banjar yang disebabkan lobang tambang yang longsor. Hal ini juga tak berbeda dengan batubara,” imbuhnya.

Dirinya menyayangkan pasca tambang lobang lobang tambang dibiarkan begitu saja sampai sekarang ,reklamasi dan penutupan lubang bekas tambang juga tidak ada kejelasan.

“Bahkan terulangnya kembali longsor di jalan Nasional seperti di wilayah Satui,Tanah Bumbu dan hanya berjarak cukup dekat dengan area pertambangan hanya sekitar puluhan meter saja,” ujar Kisworo.

Padahal dalam aturan jelas,minimal harus berjarak 500 meter itupun harus berdasarkan kajian lingkungan atau geolistrik dan lain-lain. Dalam hal ini pemerintah telah dianggap lalai.

“Kenyataannya di lapangan yang kita temukan kemarin longsor di jalan Nasional ini, tidak jauh dari perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di sana, artinya pemerintah lalai, selalu terjadi pembiaran termasuk penegakan hukumnya.

Kejadian ini selalu berulang artinya pemerintah dan penegak hukum lalai karena yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keselamatan rakyat dan melayani hak rakyat termasuk mengelola wilayah agar tidak rusak,menjadi terkesampingkan.

“Kalau melintasi jalan Nasional yang rusak ya pasti melihat kanan kiri jalan misalkan kalau kita lihat gambarnya di data kita, jalan yang longsor kemarin yang sebelumnya itu tidak jauh dari konsesi-konsesi pertambangan batubara bahkan yang baru-baru ini,kalau titik lokasinya itu ada di konsesi PT Arutmin yang baru-baru ini mendapat perpanjangan karena izin mereka habis, karena undang undang Minerba pada Pasal 169 yang memberikan izin dua kali perpanjangan.” tandasnya.

Seharusnya, sebut Kisworo,ini dikembalikan
dulu ke Negara kemudian di evaluasi oleh Negara baru diberikan izinnya kembali.

” Semestinya dievaluasi dulu seperti reklamasinya, royaltinya, CSR nya dan tenaga kerjanya,” jelasnya.

Walhi berharap, kerusakan yang diduga diakibatkan dari aktivitas pertambangan, dan perkebunan sawit segera di tindak lanjuti dengan membentuk komisi dan pengadilan khusus kejahatan lingkungan dan sumber daya alam.

Sport.kalselpos.com

Berita lainnya Instal Aplikasi Kalselpos.com

Pos terkait