Oleh : Randu
Sejak awal pandemi, saya suka melihat cara Pemkab Batola memitigasi pandemi. Kepala daerahnya Noormiliyani, berani, otentik dan memiliki keberpihakan yang jelas kepada warganya.
Dulu, saat PSBB baru dimulai, ketakutan akan virus corona masih besar. Banyak aturan-aturan yang dibuat mengindahkan nalar publik. Video-video yang viral adalah tentang aparat yang membentak-bentak orang di pos karena tidak memakai masker.
Tapi Noormiliyani, sehari sebelum PSBB, berbicara ke media massa bahwa dia ingin sebuah pelaksanaan PSBB yang humanis. Itu artinya, tidak ada orang yang dibentak-bentak, tidak ada orang yang diintrogasi berlebihan, tidak ada yang disuruh pulang untuk mengambil masker.
Dia membolehkan suami dan istri berboncengan. Bahkan mobil boleh dipenuhi anggota keluarga sejak dari rumah. “Duduk berdua satu kursi aja bisa kalau Anda dari rumah,” katanya.
Membaca pernyataan-pernyataan itu, saya merasakan akal sehat sudah kembali ke kantor pemerintahan.
Hari ini, saya kembali kaget ketika membaca Batola sudah lama membuka sekolahnya. Bukan hanya satu atau dua sekolah, tapi semuanya. Sekolah dibuka pada Juli dan terus dibuka sampai sekarang.
Bupati Noormiliyani bahkan tidak menutup sekolah meski Batola berstatus PPKM level 4. Saat itu banyak daerah di kalsel yang kembali menghentikan atau menunda pembelajaran di sekolah.
Dingin dan tetap waras. Noormiliyani tak mudah didikte oleh narasi kepanikan atas nama kedaruratan ini.
Tapi dia juga tidak ingin terjebak oleh egonya sendiri. Bupati tidak ingin mengambil keputusan apapun dalam kondisi ini yang berada di luar keinginan orang tua siswa.
Karena itu dia membuat surat edaran yang intinya semacam jajak pendapat kepada orang tua siswa: Apakah mereka menginginkan sekolah dilanjutkan atau memilih belajar daring?
Di luar dugaan, 90 persen orang tua siswa menginginkan sekolah tetap buka.
Jadilah Batola terus membuka sekolah, meski dalam aturan PPKM level 4 sekolah semestinya tutup. Noormiliyani mendengarkan warganya dibanding menurut ke orang-orang pusat yang bahkan tak tahu kondisi di lapangan.
Tentu Noormiliyani tetap memberi opsi kepada orang tua yang mengingikan hanya sekolah daring. Masuk sekolah sifatnya hanya opsional. Tapi jika siswa masuk, dia menjanjikan sekolah akan melakukan protokol yang ketat.
Apakah benar aman?
Saya membaca sekolah di Batola aman-aman saja. Memang ada kasus 7 siswa yang terpapar sejak juli lalu, tapi setelah diselidiki mereka terpapar di rumah, oleh orangtuanya sendiri.
Sekolah pun disterilkan, yang sakit dirawat, dan setelah sembuh mereka bisa masuk lagi. Pada kenyataannya anak-anak sangat kuat dari infeksi. Mereka hanya memiliki sedikit risiko. WHO bahkan menyebut anak-anak gak perlu divaksin untuk bisa sekolah. Itu berdasarkan sains.
Kepemimpinan yang mendengarkan dan pengambilan keputusan berdasarkan sains ini yang jarang dimiliki para pemimpin daerah dalam penanganan Pandemi. Dalam PPKM saya sering melihat kepala daerah yang berusaha bersikap tegas, di saat mereka seharusnya bersikap empatik.
Noormiliyani, saya kira, sekali lagi, memberi contoh yang bagus bagaimana pemerintah dalam situasi yang paling sulit pun, harus tetap mendengarkan warganya–bukan hanya sekadar mengeluh tak punya ruang protes atau “sudah kehendak pemerintah pusat.”