Lombok Tengah, kalselpos.com – “Leang ini saya pakai nanti saat saya meninggal,” ucap Ranting dengan intonasi tak beraturan sembari mengusap lembut selembar kain tenun berwarna putih kekuningan yang berada di atas pangkuannya.
Ranting adalah perempuan Suku Sasak berusia lebih dari 70 tahun. Ia satu dari tiga penenun aktif yang masih menjaga tradisi leluhur membuat kain leang di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Tenun leang merupakan kain khusus untuk menutup tubuh seseorang yang telah meninggal dunia. Ketika jenazah selesai dipakaikan kain kafan dan mau disembahyangkan, maka leang menjadi kain penutup tubuh mayat.
Kain leang dibuat oleh perempuan, baik untuk dipakai sendiri saat meninggal maupun untuk anggota keluarganya. Walau tidak semua perempuan menenun kain kafan secara tradisional, tradisi menyimpan leang di setiap rumah tetap dipertahankan hingga kini sebagai bagian dari budaya.
Fungsi kain leang di Desa Sukarara serupa kain batik panjang yang digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menutupi tubuh jenazah.
Dalam konteks pakaian adat Suku Sasak, leang adalah kain songket yang berfungsi sebagai ikat pinggang sekaligus hiasan. Leang pada pakaian adat punya motif dan berukuran lebih kecil ketimbang kain leang untuk penutup jenazah yang besar serta polos.
Bagi masyarakat Desa Sukarara, menenun leang bukan sekadar pekerjaan, melainkan pintu spiritual untuk menyiapkan diri menghadapi kematian yang pasti terjadi pada manusia sebagai makhluk hidup. Setiap helai benang yang ditenun adalah doa agar arwah dapat menuju alam baka dengan tenang.
Ranting menceritakan tidak semua perempuan boleh menenun kain leang. Hanya perempuan menopause yang diperkenankan menenun karena mereka dianggap telah melewati masa duniawi dan memiliki kematangan batin.
Selain perempuan paruh baya, pembuatan leang hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu seperti Ramadhan, Maulid, dan Rajab. Aturan itu masih dipatuhi oleh penduduk Desa Sukarara hingga kini.
“Kalau masih muda, belum pantas. Kain ini suci,” ujarnya sembari menatap ke arah kain leang mengisyaratkan makna mendalam tentang ajal.
Kain leang memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran panjang sekitar 4 meter dan lebar 60 sentimeter. Warna kain putih dengan semburat kekuningan adalah hasil dari proses perendaman benang kapas ke dalam air rebusan beras selama satu sampai dua hari.
Pintalan benang kapas yang dilakukan secara tradisional menghasilkan serat yang berantakan, sehingga perlu lem untuk meluruskan serat-serat tersebut. Air rebusan beras berfungsi sebagai lem perekat yang membuat benang menjadi kaku dan menghasilkan warna putih kekuningan yang melambangkan kesucian serta keikhlasan.
Angka Ganjil
Ketua Majelis Adat Sasak Lalu Sajim Sastrawan mengungkapkan tradisi kain leang dalam ritual kematian punya akar kuat bagi kehidupan masyarakat di Desa Sukarara. Sebagai kampung tenun yang menghasilkan berbagai kain untuk busana membuat penduduk setempat tidak melupakan kematian, sehingga muncul kain khusus untuk menutup jenazah.
Leang merupakan kain yang wajib dimiliki oleh penduduk Desa Sukarara. Setiap rumah tangga di sana paling tidak harus memiliki tiga helai kain tenun leang.
Angka ganjil lembar kain leang berupa tiga, tujuh atau sembilan dipercaya dapat membawa keseimbangan spiritual. Jumlah kain yang ganjil bergantung kemampuan dan keyakinan pihak keluarga.
“Kalau genap itu tidak baik, harus ganjil. Tiga paling sedikit,” kata Khairunnisa, salah seorang warga Desa Sukarara.
Proses sakral dalam setiap penyatuan helai benang kapas menjadikan pembuatan leang bukan pekerjaan mudah karena bergantung kondisi penenun dan ketelitian. Penenun dapat menghabiskan waktu selama satu pekan penuh untuk membuat selembar kain leang.
Setiap tahap dilakukan dengan hati-hati mulai dari memilih kapas terbaik, memintal menjadi benang, merendam dalam air rebusan beras untuk meluruskan dan memperkuat serat, hingga menenun menggunakan alat tenun tradisional berbahan kayu.
Sebelum proses menenun dimulai, para perajin biasanya mengucapkan doa kecil untuk memohon restu leluhur agar tenun mereka membawa keberkahan.
Kain leang tidak boleh dicuci oleh sembarang orang karena hanya perempuan yang telah menopause yang boleh melakukan pekerjaan tersebut. Bagi warga Sukarara, darah dan kesucian tidak boleh bersatu ke dalam setiap helai benang.
Terancam Punah
Desa Sukarara adalah pusat kerajinan tenun ikat dan songket terbesar di Pulau Lombok. Jarak Desa Sukarara ke Kota Mataram, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat hanya 24 kilometer atau sekitar 37 menit berkendara.
Dari total penduduk Desa Sukarara sekitar 13 ribu jiwa, sebanyak 3.200 orang adalah perajin tenun. Meski populasi penenun terbilang banyak, namun jumlah perempuan yang masih melestarikan tradisi menenun leang justru hanya tiga orang.
Syarat menopause itulah yang membuat tradisi menenun leang sulit mendapatkan pewaris. Akulturasi budaya dan perkembangan zaman membuat leang bukan lagi kebutuhan wajib dalam menyambut kematian.
Sebagian kecil kain leang kini juga dijual oleh masyarakat. Beberapa pengepul kain tenun di Desa Sukarara menyelipkan kain leang di antara produk tenun lain yang lebih komersial untuk dijual kepada wisatawan atau kolektor kain tradisional.
Harga kain tenun leang sekitar Rp125.000 per lembar. Aspek budaya dan spiritual dari kain tersebut punya nilai yang jauh lebih tinggi ketimbang mata uang.
Penenun leang memahami bahwa suatu hari kain yang mereka tenun akan menjadi pembungkus tubuh mereka sendiri. Tapi bagi mereka, itu bukan hal yang menakutkan justru menenangkan.
Kepala Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB) Ahmad Nuralam mengatakan leang memiliki arti lebar yang dipakai dalam rangkaian prosesi kematian seseorang. Secara terminologi, kain leang juga dikenal oleh masyarakat Pulau Sumbawa dan memiliki fungsi yang sama dengan kain leang yang terdapat di Pulau Lombok.
Museum NTB menyimpan satu koleksi kain tenun leang yang terbuat dari benang katun sebagai upaya melestarikan warisan sejarah dan budaya, menjadi bahan media edukasi dan penelitian, serta refleksi nilai sosial. Ukuran kain leang yang berada di Museum NTB memiliki panjang 446 centimeter dan lebar 65 sentimeter.
Setiap simpul benang adalah doa untuk pulang dengan damai. Kain leang tak sekadar penutup tubuh saat penghujung kehidupan, tetapi juga perpaduan unsur cipta, rasa, dan karya yang menjadi penghubung lintas generasi, penghubung bumi dan langit, serta penghubung antara hidup dan kematian.
Baca berita kalselpos lainnya, silahkan download Aplikasi Kalselpos.com di play store





