kalselpos.com – Tidur di masa pandemi Covid-19 saat ini termasuk kebutuhan dasar setiap orang yang perlu terpenuhi.
Hanya saja, tak semua orang bisa memenuhi kebutuhan ini salah satunya karena mengalami gejala kecemasan.
Untuk yang mengalami gejala kecemasan, bukan hanya tidur, tetapi juga khawatir berlebihan yang kerap terjadi.
Hal demikian menurut Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia, Inez Kristanti.
Dikatakan Inez, pada umumnya mereka khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi apalagi pada beberapa waktu terakhir di masa pandemi ini. Apa lagi berita duka yang tayang di berbagai media.
Oleh karena itu, Inez Kristanti menyarankan agar mengatur pernapasan dengan ketukan 4-7-8 untuk membantu lebih mudah tidur di malam hari,
“Empat ketukan ambil nafas, kemudian tahan nafas 7 ketukan, lalu dihembuskan pelan – pelan sampai 8 ketukan,” saran Inez yang praktik di Klinik Angsamerah itu dalam diskusi media terkait kerja sama Good Doctor dan AXA Financial Indonesia, Rabu (1/9) kemarin.
Selain mengatur pernapasan, juga bisa melakukan peregangan otot agar menjadi lebih rileks dan memudahkan untuk tidur.
“Pisahkan area antara bekerja atau belajar dan tidur. Cara ini membantu mengkondisikan tubuh,” ujar Inez.
“Kalau lagi WFH, biasakan memisahkan area untuk bekerja dan tidur. Terkadang di kasur sambil laptop-an, itu tidak disarankan karena tubuh jadi tidak terkondisikan, tidak belajar bahwa kalau sudah di kasur untuk istirahat,” tambahnya.
Menurut Inez, sesuatu yang tidak pasti wajar membuat kita merasa khawatir terkadang khawatir berlebihan, banyak terkait di luar kendali kita misalnya jumlah kasus Covid-19 hari ini.
Tetapi yang berada di bawah kendali kita itu menjaga kesehatan, melakukan protokol kesehatan dan melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa membantu kesehatan mental.
Sebanyak 72 persen partisipan melaporkan mengalami kecemasan dan 23 persen mengaku tidak bahagia, demikian berdasarkan studi pada April 2020 yang melibatkan sejumlah partisipan di 33 provinsi di Indonesia.
“Pandemi saat ini sebaiknya tak semata dipandang penghambat, tetapi juga tantangan dan orang-orang di luar sana untuk lebih memperhatikan kesehatan mental,” pungkasnya.