Suatu Hari bersama Guru Sekumpul

Suatu Hari bersama Guru Sekumpul

Senang banar ulun melihat status dan foto bersama Guru Sekumpul di facebook kawan kawan wartawan senior seperti Bang Beben RCTI dan Om Asan Antara. Sejujurnya senang sekalian ‘iri’.

Bacaan Lainnya

Senang karena ada kawan seprofesi yang bisa dekat dengan Guru Sekumpul, iri karena tidak sempat foto dengan Guru Sekumpul, padahal pernah juga punya kesempatan untuk berfoto bersama beliau.

Sebenarnya ada satu peristiwa ulun bersama Guru Sekumpul yang selama ini ulun sembunyikan, karena agak malu menceritakan apalagi menuliskannya.

Hari ini bertepatan dgn haul Guru Sekumpul ke 15, ulun putuskan, untuk menuliskan kisah yang tdk pernah ulun lupakan itu, masih terngiang di telinga kata kata lembut Guru Sekumpul, sembari senyum namun didalamnya ulun tangkap kesan sidin sarik atau minimal kesal dengan ulun.

Kaya ini kisahnya, suatu hari sekitar tahun 2000 an, ulun lupa persisnya, waktu itu ulun wartawan Majalah Fakta, sedang berada dirumah sakit (seingat ulun, Rumah Sakit Umum Daerah Ulin) untuk berburu foto foto korban kriminalitas. Tiba tiba ulun lihat disalah satu ruang cuci darah ada kesibukan luar biasa. Naluri wartawan ulun menggiring ulun untuk mencari tahu lebih. Ternyata bukan peristiwa kriminal atau korban kriminal, dari luar ruangan cuci darah itu ulun langsung dapat informasi kalau Guru Sekumpul yang sedang menjalani perawatan.

Hasrat serta kerinduan ingin berjumpa secara dekat dengan Guru Sekumpul yang ulun tahu memilki ratusan ribu bahkan jutaan murid itu, tidak bisa lagi ulun tahan, ulun terobos sejumlah barisan penjagaan orang orang berbaju koko putih, ulun terkesima, didepan ulun, ya didepan ulun hanya sekitar berjarak satu atau dua meter, ulun lihat Guru Sekumpul, ulama besar Kalimantan Selatan itu sedang berbaring di ranjang rumah sakit, reflek ulun ambil kamera dari dalam tas ulun, seperti biasa trik wartawan tempo dulu, ulun minta ijin sekalian bergerak langsung potret, tanpa menunggu persetujuan Guru Sekumpul.

“Maulah jadi ?,” tanya Guru Sekumpul, sambil senyum memandang ke arah ulun, sesaat setelah ulun potret itu.

Ulun terhentak, ulun paham, maksud kalimat pertanyaan sidin (mau lah jadi ?) itu. Sidin sebenarnya tidak bertanya, tapi seperti menegaskan bahkan mungkin “kutukan”, kalau hasil jepretan ulun tidak akan bisa jadi foto yang baik.

Meski kalimat bertanya “Mau lah jadi ?” itu, sidin ucapkan dengan perlahan dan lembut, bahkan sembari senyum namun didalamnya ulun tangkap kesan sidin marah atau minimal kesal dengan ulun. Merasakan situasi yang kurang nyaman, ulun bergegas pergi, tanpa sempat berfoto dengan Guru Sekumpul.

Penasaran dengan kalimat yang diucapkan Guru Sekumpul tentang hasil foto itu, beberapa hari kemudian ulun ke studio foto, khas wartawan masa itu, memotong film yang telah terpakai saja, untuk di cuci cetak. Hasilnya, ada garis memanjang seukuran jari telunjuk, membentang dari atas hingga kebawah dan berada nyaris ditengah tengah foto guru sekumpul yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, hasil jepretan ulun itu. Jujur sebelumnya ulun meragukan “kutukan” Guru Sekumpul terhadap foto hasil jepretan ulun yg sedikit banyak sudah terlatih sebagai wartawan lapangan serta di jepret dengan kamera foto Ricoh terbaik pada jamannya.

 

Meski sangat menyesal tidak sempat foto bersama Guru Sekumpul, namun ulun masih sangat bersyukur sempat berada di jarak antara satu hingga dua meter dari posisi beliau berbaring plus kata kata beliau yang masih bisa ulun dengar ulang kapanpun ulun mau, juga senyuman itu, senyum ramah meski mungkin ada sdikit kesal didalam senyuman itu.

Trakhir ulun merasa paling beruntung, karena waktu liputan beliau wafat, ulun bisa ikut mensholatkan di shap terdepan, bahkan hampir seharian ulun berada tepat di depan keranda bagian kepala Guru Sekumpul..

Lutfi Darlan 1/ 3/ 2020

Pos terkait