Catatan Kisah Guru Sekumpul. Oleh Adi Permana
Suatu ketika di tahun 2002, Minggu sore, saya pergi ke Sekumpul sendirian. Agak lama sebenarnya, tidak bareng dengan dua sahabat saya yang juga kerap ke majlis Sekumpul yang diasuh Guru Sekumpul, yakni Fauzan Nahdi dan Mujahidin. Padahal, sebelum-sebelumnya kerap bareng, ini karena saya sudah berkeluarga, sementara dua sahabat masih belum.
Menjelang Ashar, saya berniat mengambil wudhu melalui gerbang Mushalla Raudhah sisi Gg Taufiq atau gerbang kubah. Entah kenapa tiba-tiba hati ini rindu kepada Fauzan. “Alangkah indah saat ini jika bisa bertemu Fauzan,” kata saya dalam hati. Ajaib, baru saja kaki hendak melewati gerbang, Fauzan juga hendak lewat namun dari arah dalam. Kami sama-sama kaget, “Allahuakbar.” Kami pun berpelukan tepat di bawah gerbang. Kata saya kepada Fauzan bahwa saya baru saja memikirkannya, dan ternyata ia pun mengakui hal yang sama.
Singkat cerita kami berdua lantas sepakat mencari tempat menghampar sajadah. Saya tanya kepada Fauzan apakah ia bersama Mujahidin, teman satu kostnya. Ia menjawab bahwa ia tidak bersama Mujahidin, karena berangkat sendiri. “Seandainya ada Mujahidin tentu lengkap kita ini,” kata saya seraya dibenarkan Fauzan.
Lagi-lagi keajaiban berkat Guru Sekumpul terjadi. Di tengah kami sibuk mencari tempat di antara ribuan jamaah, tiba-tiba suatu suara yang tak asing setengah berteriak memanggil sambil melambai-lambai tangan. “Woii dangsanak (ikhwan), di sini masih kosong.” Masya Allah, ternyata Mujahidin salah satu sahabat kami memangil-manggil kami dengan wajah gembira, sambil memberi kode kalau di sampingnya masih kosong, seputar halaman samping mushalla yang berhadapan dengan rumah Guru Sekumpul.
Jadilah kami bertiga berkumpul, dan shalat kemudian mendengarkan tausiyah Guru Sekumpul. Semua berkat Guru Sekumpul. (Dicatat 24 Agustus 2012)
kalselpos/adi permana