Mampukah kearifan lokal membendung Hoax, jawabnya hampir seragam “Mampu”. Bahkan ada yang menyatakan sangat efektif, terlebih lewat kearifan lokal ala Urang Banjar (warga di Provinsi Kalimantan Selatan).
———————–
MALAH, jika generasi muda saat ini, khususnya di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang umumnya juga adalah penguna media sosial (medsos), justru tidak akan mudah terpapar isu – isu berkonten radikal, terorisme maupun informasi bohong atau Hoax.
Mereka justru akan ‘moderat’, begitu disodorkan pribahasa atau petuah dalam bahasa Banjar, yang didalamnya sarat dengan ‘bahasa Ibu’. Malah, mereka cenderung berlaku lebih cermat, dalam membedakan, mana informasi atau berita bohong dengan yang faktual.
Baca juga=SMSI Garda terdepan Penangkal Hoax
Bahkan, menurut salah seorang pelaku budaya Banjar, Noorkhalis Majid, pribahasa Banjar umumnya berisi petuah – petuah bijak, yang masih akrab di pendengaran warga asli Banjar, hingga dapat menjadi ‘filter sehat’ dalam membendung Hoax, sekaligus menjadikan mereka, jadi sehat fikir, begitu menerima informasi bohong, termasuk yang berkonten radikal.
Saat ini, semua orang mudah mengakses berbagai informasi, cukup melalui gawai yang dimiliki. Bahkan kecepatan serta kemudahan mengakses informasi, seringkali tidak berbanding lurus dengan sikap bijak, memeriksa kebenaran atau informasi yang diterima.
Tak salah, bila virus Hoax, dengan cepat dan mudah menyebar. Terlebih, umumnya para penyebar berita bohong, masuk lewat konten agama dan kehidupan sosial masyarakat sehari – hari. “Nah, lewat ‘bahasa Ibu’ atau pribahasa Banjar tadi, maka orang lebih mudah menerimanya,” ungkap Noorkhalis Majid, yang juga dikenal sebagai ketua perwakilan Ombudzman di Kalsel.
Terlepas itu, banyak kearifan tutur lisan di masyarakat Banjar, mulai dimunculkan kembali oleh pelaku – pelaku budaya dan pengiat seni di Banjarmasin, seperti ‘Kada jadi Baras’, ‘Ba unggap dulu, hanyar ba Ucap’, atau ‘Mamah dulu, hanyar di-Taguk’ atau ‘Jangan telinga Rinjingan’.
Maksud, ‘Kada jadi baras’, bermakna “jika hanya akan merugikan atau tak mendapatkan hasil, yang diistilahkan mendapat ‘beras’ , maka untuk apa melakukan, hal yang belum tentu menguntungkan.
Sedang, ‘Ba-unggap dulu, hanyar ba-Ucap’, artinya begitu mendengar apapun bentuk informasi, harusnya fikir dan ‘saring’ dulu, baru kemudian berucap, atau baru di-‘sharing’.
Pribahasa Banjar atau petuah lisan, seperti ini lah yang menurut Mariatul Asiah S.Ag M.Hum dari Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalsel, juga efektif membendung berita Hoax. Namun, yang bersangkutan, mengaku cenderung memilih media seni khas Banjar, dalam ‘membahasakannya’.
Sebab, lewat seni Madihin atau Basandung lah, maka warga medsos di Kalsel, utamanya para generasi muda, dapat dilibatkan dalam membendung berita bohong tersebut. “Sebab, lewat media seni tradisional lah, daya tangkal terhadap isu radikal maupun berita berkonten bohong, Saya nilai efektif sebagai upaya pencegahan,” ucapnya.
Sekalipun demikian, Mariatul Asiah, yang juga dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Banjarmasin tersebut, sadar, jika media seni Banjar, sangat jarang dimunculkan, utamanya oleh pemerintah daerah sendiri.
“Padahal, berdasarkan riset Kami tahun 2015 lalu, seni budaya Banjar, memiliki daya tangkal paling efektif membendung Hoax, lantaran di dalamnya sarat akan muatan sekaligus kearifan lokal,” tuturnya.
Tidak mudah memang mengiring kuam milineal di Banua (sebutan lain untuk warga Kalsel), menyukai seni tradisional Banjar. Tapi semua dapat dilakukan mengedukasi mereka, dengan hal – hal menarik, yang ada dalam seni Madihin atau Basandung.
Karenanya, Mariatul Asiah, kini coba terus mendorong pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan serta Dinas Pariwisata di Kalsel, mau ‘turun tangan’, mengiring pihak sekolah atau para pengiat seni Banjar, mengadakan lomba seni Madihin atau Basandung, yang di dalamnya tentu disisipkan informasi – informasi kekinian, soal bangsa sekaligus wawasan kebhinekaan, tentunya.
Sebagai contoh dalam seni Basandung, yang pastinya tidak banyak mengeluarkan biaya, dan cukup dimainkan oleh satu orang. Pemerannya, dapat memainkan banyak peran, hingga bisa menjadi siapa saja, sesuai alur cerita, hingga sangat efektif bila digunakan sebagai salah satu ‘media’ membendung Hoax. Apalagi, dalam Basandung, memiliki daya tarik sendiri, serta sarat dengan petuah bijak dari ‘urang Bahari’.
“Lewat seni seperti ini, pastinya dapat mengenalkan tutur lisan kearifan kepada generasi milenial, sekaligus guna menghadapi gempuran budaya baru di arus media sosial saat ini,” tegas Mariatul Asiah.
Langkah hampir sama juga dilakukan pakar budaya di Banjarmasin, yakni Dr Nasrullah, khususnya dalam membendung berita bohong atau Hoax di daerah.
Pria yang juga dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, ini lebih banyak bermain di grup WhatsApp (Wa), baik di grup seperti urang Kampung, grup kampus maupun grup Wa alumni sekolah dan lainnya.
”Saya terpaksa ‘bapurun’ (baca, memberanikan diri), bila mendapatkan informasi atau berita yang tak rasional, sekaligus melakukan krafikasi dengan kalimat atau jawabanya yang rasional,” tegasnya.
Tak jarang, Nasrullah mengaku harus ‘berpatroli’ ke Wa – Wa grup yang diikutinya, utamanya grup Kampung (maksudnya grup keluarga serta kenalan dekat di kampung halaman), hanya sekedar menangkal berita bohong atau menyesatkan. Penyampaiannya pun, dilakukan lewat kalimat – kalimat atau jawaban rasional. “Kadang, Saya juga menyelipkan ‘Papadah Bahari’ (baca, pribahasa atau petuah Banjar),” ungkapnya.
“Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu dan sempat viral, yakni pesan berantai yang berisi ajakan kepada warga, supaya menaruh baskom di atap rumah, sekaligus mengisinya dengan garam. Ini kan tidak rasional. Jadi terpaksa, Saya harus memberi jawaban yang rasional, Plus dengan ‘Papadah Bahari’ atau tutur lisan dengan pribahasa Banjar,” ucapnya.
Faktanya, petuah lisan bahasa Banjar itu sangat efektif, bahkan berlaku sampai sekarang, sebut Nasrullah, yang kini mengaku sudah menjadi praktisi budaya tersebut.
Baca juga=SMSI Garda terdepan Penangkal Hoax
Terlepas itu, Urang Banjar sendiri patut berbangga, memiliki ‘petuah’ atau ‘Papadah Bahari’ yang cenderung mengena saat disandingkan dengan era kekinian. Terlebih, dalam upaya mencegahan sekaligus menangkal berita Hoax.
Sebab, disadari ataupun tidak, tutur lisan urang Banjar, seperti ‘Mamah dulu, hanyar di-Taguk’, yang artinya ‘kunyah lebih dulu, sebelum ditelan’, memiliki sarat makna, semisal sebuah makanan yang baru tak dikenal, harus dirasakan atau dikunyah dulu, sebelum ditelan.
Jadi, bila makanan itu, ternyata enak, baru lah ‘boleh’ masuk ke perut, begitu sebaliknya. Pun dengan berita atau kabar yang masuk ke kita, cermati dahulu kebenarannya, setelah itu baru ‘ditelan’ atau sebaliknya ‘dimuntahkan’, bila ternyata berkonten Hoax. (*)
Penulis : S.A Lingga
Wartawan Kalsel Pos Banjarmasin
(*) Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Karya Jurnalistik, yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI.