MAKOM PEMILU

Randu

 

Saya sengaja berangkat cepat senin siang itu. Sebelum menjadi moderator untuk sebuah acara di Perpustakaan Palnam, saya bermaksud menjenguk seorang sahabat mantan caleg yang tinggal di dekat sana.

Bacaan Lainnya

Dari rumah saya sudah memasang wajah sedih. Anda tahu, ini bukan urusan gampang. Saya lebih baik disuruh push-up seratus kali ketimbang terjebak dalam situasi harus menghibur kekalahan seorang caleg. Membayangkan harus mengatakan,”Kekalahan adalah keberhasilan yang tertunda…” aja membuat saya muak sendiri.

Tapi, saya harus melakukannya. Betapa tidak masuk akalnya ungkapan “keberhasilan yang tertunda” itu. Teman saya yang caleg ini telah beberapa kali mencoba peruntungannya di bidang politik dan belum ada keberhasilan untuknya. Harusnya pembuat ungkapan ini bisa memberi catatan kaki berappa lama seorang harus tertunda untuk keberhasilan ini.

Saya ingat, pada 2009 silam, suaranya hanya kalah beberapa ratus suara dari pesaingnya di partai sendiri. Dia belajar dari kekalahan itu dan menaikkan taruhan lebih besar pada 2014 lalu. Meski suaranya jauh lebih banyak tetapi pesaingnya di luar partai masih lebih baik. Dan di tahun 2019 ini dia kembali dengan persiapan yang lebih baik dan perencanaan kampanye yang lebih terukur.

Andai saja tidak ada apa yang disebutnya sebagai “tsunami”, dia mungkin akan benar-benar berhasil kali ini. Tapi ya itulah, Anda tidak bisa menyalahkan lantai hanya karena Anda tidak bisa menari. Bagi saya, seharusnya dia telah memperhitungkan segalanya sebelum mencalonkan diri–termasuk di antaranya bakal dikalahkan oleh mereka yang punya banyak uang untuk membujuk pemilih.

Saya akan mengatakan itu langsung kepadanya andai saja dia menyambut saya dengan tertawa-tawa. Saya takjub. “Kalah,” katanya mengabarkan kondisi pemilu baginya–seolah-olah dia hanya mengabarkan tentang hujan yang akan turun sebentar lagi.

Kami duduk bercengkerama di bawah papan tulis yang bertempel macam-macam rekapitulasi suara. Menyeruput kopi panas. “Jangan bicara tasawuf dan makom sabar jika belum mengalami seperti ini,” katanya sambil mengedarkan pandangan.

Kami akhirnya bercerita segala macam kisah-kisah dalam tasawuf, bidang yang saya tahu sangat diakrabinya.”Alangkah mudah bicara sabar jika kamu hanya kehilangan 1 Miliar dari 10 miliar hartamu, sabar yang sesungguhnya adalah saat kamu hanya punya 1 miliar tapi kamu tetap santai ketawa-tawa saat itu semua habis,” katanya.

Saya terharu. Saya gak menyangka, alih-alih menasihatinya dengan kesabaran, saya yang malah kena ceramah.

“Akhirnya,” ucap saya setelah menahan sedu-sedan itu, “pemilu bisa mengajarkanmu sesuatu tentang tasawuf. Kukira inilah makom tertinggi dari pencarianmu.”

Dia tertawa. Saya keluar air mata. “Jadi, jika seorang sufi belum melewati makom ini, kukira belum ada apa-apanya semua klaimnya tentang kewalian.”

“Ya, ini harus menjadi satu terminal dari perjalanan cinta seorang wali. Ini namanya ‘makom pemilu’. Posisinya di atas ikhlas tapi agak di bawah mahabbah.”

Suara tawa kami semakin petjah.

 

Oleh : Randu Alamsyah

Pos terkait