Sembuhlah Setelah Pilpres

Randu

Ini masa-masa yang rumit. Kita bisa merasakan betapa dalam lima tahun ini relasi sosial kita –hubungan-hubungan perkawanan dan kekeluargaan– runtuh dengan cepat. Dan segera setelah itu, terungkaplah sesuatu yang belum pernah kita lihat: Tiba-tiba teman akrab kita tak pernah menegur lagi, sahabat yang dulu selalu ramah mendadak berargumen dengan sengit di akun kita–seolah-olah mereka orang lain yang belum pernah kita kenal.

Di balik kepulan asap puing-puing ini, kita akhirnya mengetahui warna sejati setiap orang. Dan kadang-kadang itu bukan warna yang kita kenal. Kita merasa seperti ditipu oleh pengetahuan kita. Kita merasa sudah mengenali teman bahkan keluarga kita, tapi akhirnya kita sadar: kita tak begitu kenal-kenal amat.

Bacaan Lainnya

Sebagai seorang yang suka berbagi opini pribadi di facebook, saya merasakannya. Saya tidak tahu ada berapa teman facebook yang mungkin diam-diam memendam ketaksukaan –atau setidaknya ketidaksetujuan–dengan apa yang saya tulis. Beberapa menunjukkannya dengan frontal, beberapa menyerang secara pribadi, meski tentu saja saya kira lebih banyak lagi yang–dengan elegan–diam-diam memilih untuk berhenti mengikuti saya di media sosial.

Tentu, ini bukan hanya pengalaman saya. Ini adalah cerita setiap orang. Seorang teman pernah bercerita tentang grup WA warga perumahan yang mendadak sunyi karena anggota grup berbeda pilihan dalam Pilpres. “Tidak ada yang berani bersuara karena masing-masing menjaga agar lain tidak tersinggung,” katanya.

Itu bagi saya terdengar konyol. Untuk apa ada grup WA jika setiap orang diam? “Ya, kita membicarakan hal lain selain politik.” Tapi segera setelah satu dua obrolan, perbincangan cepat sekali kembali ke politik. Sepertinya, kita memang tidak punya banyak pilihan tema akhir-akhir ini.

Untunglah, Pilpres tak sampai seminggu lagi. Orang-orang mulai membayangkan dunia akan kembali berwarna. Status media sosial yang membully capres akan kembali pada khittahnya: membully jomblo. Meme Ngabalin, Fadli Zon, Rocky Gerung, segera berganti Mario Teguh. Kita akan punya banyak opsi perbincangan lagi: film, buku, kuliner, sepak bola–apa saja selain politik.

Tapi benarkah demikian? Jika membaca tulisan para pengamat sosial-politik, hal itu tidak akan terjadi. Siapapun pemenang Pilpres, kita masih akan begini. “Pembelahan kita sebagai bangsa sudah sedemikian dalam. Discourse ‘cebong’ dan ‘kampret’ ini sudah sedemikian beracun. Pandangan miopik atau picik terhadap politik agaknya akan berlangsung lama. Ia tidak akan hilang bahkan jika pilpres ini selesai,” tulis Made Supriatma dalam artikel bernada suram di Tirto: “Bisakah Indonesia Sembuh Setelah Pilpres 2019?”.

Well, mungkin saja benar. Tapi jika boleh memilih, saya ingin memakai pandangan yang lebih optimistis: kita hanya akan semakin bijak dan kuat. Ya benar, politik memang telah membelah kita, tapi itu juga mendewasakan kita. Relasi sosial telah runtuh tapi kita selalu bisa membangunnya kembali, kali ini dengan lebih kokoh karena kita akhirnya tahu potensi sebenarnya dari setiap orang.

Indonesia adalah negara demokrasi tapi juga adalah negara dengan masyarakat yang memeluk agama. Bagi pemeluk agama tidak ada sesuatu yang sia-sia. Dalam agama, ada yang namanya hikmah: mutiara yang tersembunyi dalam setiap peristiwa. Orang beragama selalu bisa menarik pelajaran baik dari setiap sesuatu.

Sang Nabi pernah bersabda: “Sungguh menakjubkan melihat seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.”

Melalui cara pandang inilah, menurut saya, orang-orang beragama–khususnya mukmin–memandang sesuatu. Ini memberikan kita kualitas yang baik dalam bersikap. Kita bisa lebih rileks dan punya daya pegas untuk menyerap setiap perubahan dan pasang-surut kejadian. Hati kita tidak terlalu tersita, apalagi pecah dan kecewa.

Itulah mengapa saya cenderung tak setuju jika apa-apa yang berbau agama terlalu diseret ke ruang politik. Jika kita sudah telanjur menyandarkan logika-logika benar dan salah, layak dan tidak yang politis–kepada agama, maka pada gilirannya –tanpa sadar–kita bisa mengatas-namakan agama, semata-mata demi nafsu siapa yg akan menang dan siapa yg harus kalah. Anda bisa kehilangan keyakinan Anda kepada agama karena menempatkannya terlalu jauh dari tempat yang seharusnya.

Politik ya politik saja. Anda memilih pemimpin karena kecewa dengan pemimpin sebelumnya, Anda berusaha untuk memenangkannya sekuat ikhtiar Anda, Anda benar-benar berusaha, tapi Anda juga tahu: yang terbaik belum tentu menang. Anda kecewa dan itu wajar. Tapi harusnya itu tidak terlalu lama, karena toh ini bukan segalanya. Ini hanya dunia. Dan di dunia, orang benar dan baik, tak selalu menang. Inilah konsep agama memandang dunia.

So, santai aja. Jadikan pilpres sebagai pembelajaran. Saya harap, Anda bisa kembali meng-add teman-teman Anda yang dulu Anda block hanya karena perbedaan preferensi politik. Anda bisa merangkum kembali waktu-waktu berharga yang hilang karena pilpres ini. Saya berharap grup WA bisa berbicara apa saja–bahkan politik–tanpa harus takut-takut. Ini bukan sesuatu yang menakutkan.

Lima tahun memang bukan periode yang pendek–mungkin telah membuat semacam genangan kenangan yang dalam di hati kita. Tapi untuk sebuah luka, ini juga waktu yang cukup lama untuk sembuh. Saya berharap, seperti saya juga berusaha, kita bisa saling menyapa lagi. Hikmah dari dinding yang runtuh ini tak selalu buruk karena bisa jadi justru akan semakin mendekatkan kita. Dengan pemahaman yang lebih baik, saya optimistis, kita bisa menghadapi semuanya –kini tidak lagi sebagai individu-individu– sebagai sebuah bangsa. Dan ya, itu hanya terjadi jika kita bisa mengerti posisi kita dalam peta negara dan agama.

 

Penulis : Randu Alamsyah
Penanggung Jawab : S. A. Lingga

Pos terkait