Para jurnalis mengerti, bahwa setiap Negara berada dalam keadaan masing-masing di dalam siklus sejarah Negara dan Rakyat. Kita sendiri sedang bergelut pada salah satu tahap dari 1- Negara lemah Rakyat kuat, 2- Rakyat kuat Negara kuat, 3- Negara kuat Rakyat lemah, 4- Rakyat lemah Negara lemah. Di nomor berapakah kita?
Aktivis Pers memandu para pengelola Negara untuk menemukan ketepatan identifikasinya dalam siklus itu. Dengan demikian Negara dan Pemerintah berhitung lebih titis ke masa depan, keputusannya lebih akurat dan langkahnya lebih efektif dan determinatif. Sebab kalau tidak tepat, seluruh kegiatan di bidang apapun akan tidak maksimal energi dan spiritnya, kecerdasan dan kecakapannya, bandulnya akan ngglayut dan lembek antara titik pijak dengan arah sasarannya. Bolanya tidak gol, anak panahnya meleset. Ibarat orang beribadah, shalatnya tidak punya sensor terhadap Shirathal Mustaqim.
Padahal Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dalam arti yang sesungguhnya. Pada segala dimensi dan potensialitasnya. Kelengkapan nilai-nilai dasar filosofi kehidupannya. Komprehensi dan tradisi harmoni mentalitas dengan budayanya. Berabad-abad sebelum memasuki era NKRI, bangsa kita sudah mengalami kematangan Peradaban, dengan keutuhan dan keseimbangan.
Justru kemudian tatkala bersatu dalam keIndonesiaan, bangsa ini memulai meninggalkan dirinya sendiri. Sejarah yang ditempuhnya bukan transformasi kontinual, melainkan adopsi-adopsi sporadik. Berbagai gelombang dunia, melalui paket-paket massal Globalisasi, membuat bangsa Indonesia luntur kemampuannya untuk menghormati dirinya sendiri. Merosot kepercayaan dirinya, bahkan tidak menentu kesediaannya, apalagi keteguhannya, untuk menjadi dirinya sendiri. Menjadi bangsa pengekor, epigonis, plagiat, muqallidin. Bahkan kita mengemis-ngemis demi supaya direndahkan oleh bangsa lain.
Maka sekarang ini dunia Pers perlu benar-benar menciptakan cuaca intelektual, budaya dan moral, agar publik terbimbing untuk menjadi mesin sejarah pemroses kepemimpinan. Menemukan pemimpin nasional yang Negarawan. Pemimpin Indonesia yang Negarawan Dunia. Pemimpin yang fokus urusannya bukan kalah menang untuk dirinya, melainkan total mengabdi kepada kesejahteraan masa depan bangsanya, meskipun dirinya tidak dicatat atau tidak menandatangani prasasti. Bangsa ini butuh Pemimpin yang keberaniannya tidak untuk menang dan ketakutannya tidak untuk kalah. Pemimpin yang zuhud dari segala halusinasi dunia. Yang tidak takut lapar dan tidak takut kepada ketakutan. Yang “la ubali”, “gak pathèken” atas nasib pribadinya.
Pemimpin yang mengerti posisi bangsanya di tengah bangsa-bangsa di dunia. Sehingga mengerti pula bagaimana menyikapi dunia antara ketegasan dengan kebijaksanaan. Antara menjaga harta benda tanah air dengan ketepatan kadar kemurahan terhadap yang kita kerjasamai dan mengkerjasamai kita. Menjunjung internasionalisme tanpa menginjak-injak nasionalisme. Tidak merendahkan siapapun dan tidak direndahkan oleh bangsa manapun. Mengerti hitungan keseimbangan antara materi, kapitalisasi, bahkan industrialisasi, dalam dialektika yang saling menyelamatkan dengan wilayah kualitas kemanusiaan, karakter kebangsaan, wilayah rohani dan intrinsik nilai-nilai.
Kita butuh Pemimpin Indonesia yang secara nilai merupakan pemimpin Dunia. Yang filosof kemanusiaan, patriot bangsa, prajurit kebenaran, Empu kebaikan dan pendekar kebijaksanaan. Ke dalam dirinya sendiri ia adalah Pemimpin yang manunggaling kawula lan Gusti. Hanya ada dua muatan di dalam jiwanya, yakni rakyat dan Tuhan. Kalau ia mengkhianati rakyat, Tuhan melaknatnya. Kalau ia ingkar kepada Tuhan, rakyat akan diatmosferi oleh petugas-petugas Tuhan untuk menggugatnya. Mohon izin untuk mengemukakan bahwa penghuni Indonesia bukan hanya manusia penduduk Indonesia. Kehidupan manusia di Indonesia juga tidak dikerjakan sendiri oleh warganegara Indonesia. Ada pluralisme yang lebih luas dan lebih ragam. Ada formasi pelaku-pelaku sejarah yang lebih dari yang selama ini kita daftar dalam buku-buku ilmu dan birokrasi. (bersambung)